Tahun ini, saya tepat menginjak
usia 24 tahun. Usia yang banyak dibilang orang
sudah pas untuk menuju gerbang pernikahan. Usia dimana mulai banyak
orang yang menanyakan” Kapan Menikah?”. Tapi sayang, saya bukan ingin
mengabarkan kalau saya ingin menikah di tahun ini. *winkwink
Beberapa minggu terakhir, saya
mulai keranjingan untuk membaca berbagai tulisan di blog soal personal life
mereka. Tentang menuju pernikahan, pasca menikah bahkan soal parenting. Hampir
setiap pagi rutinitas saya berubah dengan membaca blog. Seperti www.bridestory.com, weddingku.com, superbridezilla.blogspot.co.id.
Beberapa teman saya sudah ada
yang menikah, bahkan salah satu teman baik saya sudah menikah tahun lalu. Belum
lama juga, beberapa teman memposting foto pernikahan mereka di akun
instagramnya. Ada juga yang bercerita soal kehidupan pasca menikah di Instagram
story mereka. Bahkan saya mendengarkan berbagai cerita dari temen kantor
yang sudah menikah.
Terus? Pengen nikah juga? No. Belum maksudnya
untuk saat ini. Hehe
Dengan membaca tulisan mereka,
saya mendapat gambaran bahwa memutuskan dan mengurus soal pernikahan, sampai
menuju kata “SAH” itu tidak mudah. Banyak hal yang harus di persiapkan, bukan
hanya soal mengurus KUA, undangan, kebaya,dekor,catering,memilih menikah di
gedung atau di rumah, but it’s a lot beyond. Belum lagi masalah perdebatan
kecil antar keluarga, perdebatan antara calon pengantin dan masalah lainnya, a
big question is…
“Do we really need to ride this roller coaster before the big event?”
“Menikah di KUA gratis bukan?
Kenapa gak nikah di KUA aja? Ah, takut dengan omongan keluarga besar. Kan kita
harus mengikuti adat. Nanti kalau jadi omongan tetangga bagiamana?”
Belum lagi
kehidupan pasca menikah. Bahagia memang rasanya tinggal satu rumah dan bangun
dengan melihat orang yang kita cintai. Tapi sayang, kehidupan pasca menikah
bukan hanya sebatas itu. Masalah tempat tinggal,membeli kebutuhan dapur,
membeli peralatan dapur,perdebatan hal sepele, masalah dengan mertua dan semua
hal perubahan kebiasaan yang kita lakukan.
Saya jadi
teringat salah satu postingan teman soal kehidupan pasca menikah di
instagram.
" ternyata harga alat dapur itu mahal ya, tau gitu waktu masih
sendiri dulu saya kumpulkan alat rumah tangga. Bukannya membeli baju dan
sepatu. Hahaha” dan “saya baru tau kalau harga gorden itu jutaan,setelah menikah
hahaha”
Itu yang bisa
saya simpulkan dari membaca tulisan mereka dan mendengar cerita2 mereka.
Membuat saya berfikir banyak hal. Apa saya sudah cukup siap untuk mempersiapkan
dan memasuki kehidupan pernikahan? Apa saya sudah cukup mampu untuk menurunkan
ego ketika hidup dengan “Dia”? Apa saya sudah cukup bekal untuk menjadi
menantu, Ibu dan istri yang baik?
Saya takut?
Sedikit. Tapi saya lebih banyak khawatir jika nanti saya tidak bisa menjadi sosok
seperti yang “Dia” harapkan.
RUMAH
Bagian paling penting
menurut saya yang harus pertama kali disiapkan. Ibu saya selalu bilang “ kalau
abis nikah jangan sampe nyusahin orang tua ya (termasuk mertua)”.
Rasanya saya
sudah di doktrin dengan kalimat itu. Saya memang ingin memiliki tempat tinggal
sebelum akhirnya resmi menikah. Saya juga tidak ingin tinggal dengan
mertua,saya cukup khawatir dengan berbagai pengalaman banyak orang soal tinggal
dengan mertua. Bukannya saya tidak ingin belajar untuk menjadi menantu yang
baik, Rasanya lebih baik kalau menjaga kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa
terjadi.
Selain keranjingan membaca blog soal pernikahan,
saya juga keranjingan untuk mengirimkan berbagai macam tema pernikahan plus
harga dan berbagai macam catering. And You know what?Cuma dibales. Mau buat
bayar WO apa rumah? Jelas saya memilih rumah.
Sangat wajar rasanya setiap
perempuan memiliki pernikahan impian. Tapi tetap harus realistis. Mungkin bisa
saja saya mewujudkan pernikahan impian saya, kalau semua kebutuhan saya sudah
terpenuhi.
Tidak ada
ruginya memang membaca semua pengalaman yang mereka tulis. Setidaknya saya
memiliki bayangan bagaiamana ribet nya mempersiapkan pernikahan, bagaimana
kehidupan pasangan baru menikah,dan
bagaimana berhubungan dengan mertua. Saya yakin, ketika nanti saya ada
di posisi itu, lahir batin saya akan jauh lebih siap untuk menghadapi semua
kemungkinan yang terjadi. Pelajaran paling beharga belajar dari pengalaman
bukan? Bukan hanya pengalaman pribadi tapi juga pengalaman orang lain.
Saya pernah
menulis, Menikah lah di waktu yang tepat bukan tepat waktu.
Jika sebagain
orang menganggap usia yang tepat untuk menikah di rentan usia 22-25, dan kamu
meyakinkan itu sebagai waktu yang tepat dengan hanya berpatokan dengan
usia. Tidak ada salahnya juga mengambil
keputusan untuk menikah. Kalau saya, saat ini saya lebih menyiapkan diri untuk
belajar menjadi lebih baik, untuk mempersiapkan apa yang saya butuhkan,
memikirkan bagaimana kehidupan setelah menikah (meskipun saya sangat yakin
bahwa menikah akan membuka berbagai pintu rejeki), mempersiapkan batin saya
untuk benar-benar meninggalkan rumah.
Sampai bertemu
di waktu yang tepat. Dengan lahir dan batin kita yang jauh lebih siap.Percayalah, semakin kamu mencari semakin kamu tidak akan pernah menemukan. Karena
menikah bukan soal kesempurnaan tapi saling menyempurnakan.
Sampai bertemu pada "Rumah" yang kamu impikan dan selalu menerimamu "pulang".
Komentar
Posting Komentar